Sabtu, 25 April 2020

Komunikasi Politik -- Pengantar Pemahaman


Komunikasi Politik: Pengantar Pemahaman
Komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari sistem budaya politik dan budaya berkomunikasi masyarakat, budaya tersebut tentu menentukan kecenderungan-kecenderungan dalam komunikasi politik. Menurut Rush dan Althof (1997: 255), komunikasi politik merupakan transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik, dan proses sosialisasi. Dari proses politik seperti itu, terlihat kemudian posisi penting komunikasi politik terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan. Pada dasarnya komunikasi politik merupakan salah satu bentuk dari banyak bentuk komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang relatif sederhana seperti halnya komunikasi antar persona (interpersonal communication) maupun dalam bentuk yang lebih kompleks seperti hal nya komunikasi yang dilakukan oleh suatu lembaga (institutional communication) maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari dimensi dimensi komunikasi pada umumnya.
Secara teoritis ada dua aspek penting dalam komunikasi politik, (1) konsep komunikasi politik ini mengacu pada pemikiran Laswell dimana fokus analisis dan model komunikasi di dasarkan pada “who says what in which channel to whom with what effect”. Unsur sumber (who) mengundang pertanyaan mengenai pengendalian pesan, unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi, saluran komunikasi (in which channel) menarik untuk mengkaji analisis media, unsur penerima (to whom) banyak digunakan untuk studi khalayak, unsur pengaruh (with what effect) berhubungan erat dengan kajian efek pesan pada khalayak; (2) konsep politik komunikasi disini mengacu pada pemikiran Chaffe dimana fokus analisis dan model komunikasi didasarkan pada “who gets to say what to whom”. Komunikasi politik dan politik komunikasi juga terus berlangsung di dalam pengaruh dua mainstream yang berbeda, secara umum keduanya berlangsung dalam pengaruh tarikan arus kuat dua mainstream utama, market model dan public sphere model. Perkembangan industri media di dalam merespon perkembangan struktur kapitalisme dan juga menjadi aktor penting proses demokrasi tidak mudah lepas dari dua hal tersebut, kendatipun secara mendasar kedua model tersebut memiliki basis logika dan referensi etik ideologi yang berbeda (Nyarwi, 2008:162). Pandangan Entman dan Bennet (2001: 472) bahwa terdapat dua cara memahami komunikasi politik, yaitu: (i) memfokuskan perhatian pada respons individu terhadap pesan-pesan persuasif menyangkut pilihan tertentu; dan (ii) menitikberatkan diskusi pada karateristik proses komunikasi tempat pesan dan informasi politik dikonstruksikan dan disistribusikan dalam sebuah sistem politik. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan idealnya dielaborasi dalam satu wadah “komunikasi politik”.
Fagen mendefenisikan komunikasi politik sebagai: “Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual and potential, that is has for a functioning of political system. Nimmo mendefenisikan: “Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual and potential) which regulate human conduct under the condition of conflict. Sedangkan Meadow mengemukakan bahwa komunikasi politik merupakan: “Political communication refers to any exchange of symbols or massages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Dan Nimmo, 2004: vi). Dalam pandangan Nimmo (1993: 29) komunikator politik ini memainkan peran peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Para pemimpin organisasi ataupun para juru bicara partai politik adalah pihak yang menciptakan opini public, karena mereka berhasil membuat sejumlah gagasan yang mula mula ditolak kemudian dipertimbangkan dan akhirnya diterima publik.
Itulah sebabnya, Alfian (1991) mengilustrasikan komunikasi politik sebagai aliran darah yang menjadi energi untuk menghidupkan sendi sendi demokrasi. Tanpa aktivitas komunikasi politik yang memadai, sulit untuk membangun demokrasi. Sebab komunikasi politik dan demokrasi merupakan dua senyawa yang saling melengkapi. Dan karena kaitan antara dua senyawa itu pula, komunikasi politik dapat dilihat pada dua fenomena yang saling mempengaruhi, yaitu sebagai alat proses demokratisasi disatu pihak, dan dipihak lain, ia juga dapat menjadi cermin demokrasi dari system politik yang di anut sesuatu negara (Muhtadi, 2008:2). Karena itu lanjut Nimmo, sikapnya terhadap khalayak serta martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya baik sebagai individual maupun kolektif, setiap komunikator politik merupakan pihak potensial yang ikut menentukan arah sosialisasi, bentuk bentuk partsipasi, serta pola pola rekrutmen massa politik untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Selain itu, A.Muis (2000: xvi) menyebutkan bahwa komunikasi politik adalah sebuah proses komunikasi yang syarat dengan penggunaan kecerdasan, kepintaran, kecerdikan dan bahkan kelicikan (sagacity, expendiency, craftiness, judiciousness, schemingness). Pengertian lebih luas dari komunikasi politik adalah segala macam komunikasi yang digunakan oleh lembaga-lembaga legislatif, hukum, politik, masyarakat, ekonomi, kelompok-kelompok pelaku ekonomi besar (pressure groups) dan lembaga komunikasi masa yang bertujuan mengkontrol, mengusai, dan mangatur masyarakat dan negara. Terdapat pengertian lain, bahwa komunikasi politik merupakan komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama lembaga-lembaga politik.
Pandangan lain berasal dari Brian McNair (2003:4) yang mendefenisikan komunikasi politik sebagai proses komunikasi antara aktor politik dan masyarakat melalui media. Komunikasi politik terdiri atas tiga elemen, yaitu: (1) organisasi politik (partai politik, organisasi public, pemerintah, kelompok penekan, dan lainnya), (2) masyarakat (audience), dan (3) media. Komunikasi politik menurut McNair ini memiliki ragam karakter, yaitu: (1) semua bentuk komunikasi dilakukan oleh para politisi dan aktor politik lain demi meraih tujuan khusus; (2) komunikasi di tujukan untuk aktor ini oleh non politisi seperti pemilih dan kolumnis surat kabar; (3) komunikasi aktor ini beserta aktifitasnya dalapat dilihat dalam laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik dalam media. Pandangan McNair tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Masyarakat
(Audience)
Media
Ruang Publik dan Ruang Kebijakan
Organisasi Politik
ü Partai Politik
ü Organisasi Publik
ü Kelompok Penekan
ü Pemerintah
ü Kelompok “Teororis”
 





(Adiputra, 2010:261)
Menurut McNair bahwa peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan, hal ini terjadi karena dua faktor, yaitu: (1) dewasa ini politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation) yakni media massa, sehingga hampir mustahil kehidupan politik dipisahkan dari media massa; (2) peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu rutin belaka (seumpamanya rapat partai), apalagi peristiwa politik yang luar biasa (seperti penggantian presiden). Politik di era mediasi ketika dikaitkan dengan fungsi media dan media massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitters) pesan-pesan politik dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (senders) pesan-pesan politik yang disusun (constructed) oleh para wartawan kepada audiens. Jadi bagi para aktor politk, media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada khalayak, sementara untuk para wartawan, media massa adalah wadah untuk memproduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa politik itu memiliki nilai berita (Hamad, 2004:1).
Eric Louw memandang bahwa dimensi proses politik akan memberikan implikasi yang berbeda atas proses komunikasi politik, berikut tiga dimensi proses politik sekaligus pula menjelaskan fenomena komunkasi politik, yaitu (Adiputra, 2010:262-263):

“Elite” Politics (geared to delivery
“Elite” Politics (geared to planning delivey and performance
“Mass” politics (gered to image and myth making to be consumed by voters)
Driven by:
ü Cabinet
ü Policy Staff
ü Beraucrats
ü Judiciary
ü Intelectuals
ü Lobbyists
ü Diplomats
ü Political party “insider”
ü Spin-doctors
ü Negotiators
ü Intelligence community
ü Insider intelectuals
ü Journalist
ü Culture industry
ü Pollsters
ü Pundit and media commentators
Output
Output as substantive
ü Resource allocation
ü Laws
ü Violence (internal)
ü Foreign Policy (War and Peace)
ü Service Delivery
ü Deal making (between interest group)
ü Aggregating interests
Output as planning and coordination
ü Inventing beiefs and ideology
ü Inventing identity
ü Selectiong politicians and staffers
ü Strategizing about policy, hype, and policy-hype relatioship
Output as Image Making
ü Politician as celenrity
ü Identities to consume
ü Belief and ideology propagation
ü Articulating interest
ü Legitimacy
ü “distraction” (if needed)
Site (Located in)
ü Parliament
ü Beraucracy
ü Courts
ü Violence-making machinery
ü Front-stage and back stage performances
ü Political elite “back rooms” and elite media



ü Back stage performace (hidden from political outsiders
ü The cultyre industry and “mass” media



ü Front-stage performance (to be consumed by political outsiders

Secara umum tipologi menurut Louw ini lebih dapat menangkap realitas kekinian dibandingkan dengan klasifikasi atau definisi komunikasi politik yang lain, adanya dimensi dalam proses politik, yaitu: kebijakan, manajemen (proses politik), dan hype atau sesuatu yang berkaitan dengan citra. Tabel di atas terutama memberikan pemahaman atas peran media yang besar di dalam penciptaan citra dan mitos aktor politik, dimensi hype menyatukan berbagai konsep yang biasnya dijauhi oleh pengamat politik, yaitu: propaganda, budaya popular, dan imaji (Adiputra, 2010:263).
Secara terminologi demokrasi, komunikasi politik seringkali diartikan sebagai mekanisme komunikasi antara aktor politik (komunikator) untuk memperoleh dukungan politik (komunikan) melalui cara tatap muka (face to face communication). Karena itu komunikasi politik mencerminkan adanya interaksi yang terus menerus antar elit politik dan masyarakat dengan maksud agar aspirasi masyarakat dapat diartikulasikan, sehingga para aktor politik itu sendiri dapat memperoleh legitimasi sendiri dari masyarakat dengan cara memperjuangkan aspirasinya. Sehingga  mekanisme komunikasi politik seperti tergambar pada pengertian diatas mensyaratkan adanya iklim demokratis, sebab tanpa demokrasi tidak mungkin ada kebebasan untuk melakukan kegiatan komunikasi secara timbal balik khususnya antara masyarakat dengan para pemegang kekuasaan (Muhtadi, 2008:10).
Dengan demikian secara ideal komunikasi politik mensyaratkan kebebasan dan transparasi. Sehingga dengan cara demikian bentuk bentuk penyimpangan perilaku politik, baik karena adanya miskomunikasi ataupun distorsi informasi, dapat dihindari. Proses penyebaran pesan pesan politik dapat berlangsung secara wajar sehingga pada gilirannya akan berakibat pada bagaimana seseorang menemukan sikap serta nilai berkenan dengan kelembagaan politik, dan bagaimana seseorang pada akhirnya berperilaku politik tertentu (Kraus dan Davis: 1978: 12).
Untuk memainkan serta menghidupkan fungsi sosial politiknya dalam masyarakat dan negara, komunikasi politik dalam hal ini dimaksudkan sebagai kekuatan penggerak hidup dan dinamisnya suatu sistem. Dalam ungkapan Alfian (1991:1) komunikasi politik diibaratkan sebagai “sirkulasi darah dalam tubuh”, bukan darahnya tapi, apa yang terkandung didalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup. Komunikasi sebagai layaknya darah mengalirkan pesan pesan politik berupa, tuntutan , protes, dan berupa dukungan (aspirasi dan kepentingan) kejantung (pusat) pemrosesan system politik, sebagai jembatan yang menghubungkan antara berbagai kepentingan yang muncul, komunikasi politik menjadi sarana penting dalam membentuk opini publik sekaligus mendinamisasi kehidupan social untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Muhtadi, 2008: 12-13). Kebebasan berbicara akan membentuk ruang komunikasi politik yang kondusif, sebaliknya komunikasi politik yang berlangsung ideal juga akan menciptakan iklim demokrasi yang lebih sehat.
Sementara, politik komunikasi yakni mengenai hak warga negara untuk menjadi pengelola informasi yang aktif dan mandiri. Prinsip-prinsip penting dalam politik komunikasi antara lain terdapatnya variasi jenis media, keterbukaan dan keberagaman kepemilikan media, serta kandungan isi media yang beraneka ragam pula (Gazali, 2004: 54). Dalam bahasa Mutz (2000), politik komunikasi terkait dengan upaya menjadikan warga negara sebagai pengelola informasi yang aktif dan mandiri, yang sebelumnya dalam bahasa Jakubowicz (1993) disebut sebagai "senceiver", gabungan dari "sender" sekaligus "receiver" (pengirim dan penerima pesan). Tentunya kedua cara penggambaran politik komunikasi ini tak dapat dilepaskan dari gagasan Habermas tentang sebuah "public sphere", ruang publik yang lepas dari tekanan kekuatan dominasi terutama dari tekanan istana (pemerintah) dan Pasar (kapital), sehingga dapat terjadi sebuah interaksi komunikasi yang bebas dan (relatif) rasional. Konsep "public sphere" ini dapat lebih terjamin atau lebih terbuka peluang perwujudannya jika ditegakkan prinsip-prinsip "variety of media" (terdapatnya variasi jenis media) dengan "diversity in media ownership" keterbukaan dan keberagaman kepemilikan media) serta "plurality of contents" (kandungan atau isi media yang beraneka ragam pula) (Gazali, 2004: 62).
Untuk mewujudkan pola komunikasi yang baik diperlukan iklim politik yang demokratis dan terbuka, sehingga semua unsur yang menjalankan fungsi dan peran sebagai komunikator maupun komunikan politik dapat menjalankan sebagaimana mestinya. Terlebih elit politik karena posisinya sebagai pengambil kebijakan, begitu pula dengan masyarakat dituntut harus dapat menciptakan prakarsa dan mengembangkan kreativitasnya. Selain itu, media massa senantiasa diharapkan menjadi komponen penting dalam melakukan suatu control maupun surveillance secara kritis dalam menyikapi proses politik yang terjadi di Indonesia.
Media massa menjadi instrument yang strategis tetapi juga rentan terhadap politisasi para pemiliknya, sehingga perlu dibangun keseimbangan komunikasi yang berpihak pada public. Implementasi terhadap regulasi yang memungkinkan media massa menjadi benar-benar pilar keempat demokrasi patut diperjuangkan publik (Muktiyo, 2009:295)
Pilar keempat demokrasi tersebut dalam tataran komunikasi politik ada hal yang perlu di pertimbangkan dan dikaitkan diantaranya, pertama: komunikator dalam komunikasi politik, yaitu pihak yang memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak politik, seperti dalam perustiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam komunikasi politik dapat dibedakan dalam wujud individu, lembaga maupun kumpulan orang.  Kedua, khalayak komunikasi politik, yaitu penerima yang sebetulnya hanya bersifat sementara, seperti dalam konsep umum berkomunikasi, ketika penerima itu memberikan feedback dalam suatu proses komunikasi politik atau pada saat meneruskan pesan-pesan itu kepada khalayak lain dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, maka pada saat itu peran penerima telah berubah menjadi sumber atau komunikator. Ketiga, saluran-saluran komunikasi politik, yakni setiap pihak atau unsur yang memungkinkan sampainya pesan-pesan politik, dalam hal-hal tertentu memang terdapat fungsi ganda yang diperankan unsur-unsur tertentu dalam komunikasi (Muhtadi, 2008: 33-34).
Sehingga pengaruh komunikasi kita kepada orang lain, yaitu: internalisasi, terjadi ketika kita menerima gagasan, pikiran atau anjuran orang lain, karena gagasan/ pikiran/ anjuran tersebut berguna untuk memecahkan masalah, penting dalam menujukkan arah atau dituntut oleh sistem nilai; kedua, identifikasi, terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain, karena perilaku ini berkaitan dengan hubungan yang mendefenisikan diri secara memuaskan dengan orang atau kelompok itu; ketertundukan (compliance) terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok tersebut (Zubair, 2009: 299-300).
Ramlan Surbakti menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dana dari masyarakat kepada pemerintah, pandangan ini berangkat dari primis komunikasi hanya sebagai alat menyampaikan informasi politik. Perkembangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat berjalan terus dan mengalami perubahan, suatu perubahan yang menonjol adalah tujuan komunikasi politik yang dilakukan pemerintah dan yang disampaikan kepada masyarakat, karena itu pengetrian komunikasi politik sebagai alat barangkali perlu dielaborasi menjadi kegiatan komunikasi yang dilakukan individu, komunitas, dan lembaga untuk mengatur perbuatan manusia dalam mewujudkan kebaikan bersama dalam sebuah negara/ pemerintahan. Bertolak dari pemahaman komunikasi politik ini, tentu harus memusatkan perhatian pada bagaimana individu, komunitas, dan lembaga memanfaatkan media massa mengatur perbuatan manusia dalam mewujudkan sebuah kebaikan bersama dalam sebuah negara/ pemerintahan. Artinya, kajian komunikasi politik melihat media massa sebagai bagian dari proses politik yang harus menyediakan informasi politik bagi masyarakat (Abrar, 2001: 37).



Daftar Pustaka
Buku:
Alo liliweri, (2001), Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Pustaka pelakar, Yogyakarta
Abrar, Ana Nadhya., (1994), Penulisan Berita, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atmajaya)
Adiputra, Wisnu Martha., (2009), Berkawan Dengan Media: Literasi Media untuk Praktisi Humas, (Yogyakarta: Kajian Media dan Budaya Populer)
Bungin, Burhan., 2006, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana. Jakarta.
Canggara, Hafied., (2009), Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. (Jakarta: Rajawali Pers).
Hamad, Ibnu., (2004), Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Analysis Discourses Terhadap Berita-Berita Politik, (Jakarta: Granit)
Muhtadi, Asep Saeful., (2008), Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru, (Bandung: Rosdakarya).
Muis, A., (2000), Titian Jalan Demokrasi: Peranan Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik, (Jakarta: Kompas)
Nimmo, Dan., (2006), Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya).
Nurudin, (2004), Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Rajawali Pers)
Piliang, Yasraf A. (2005), Transpolitika: Dinamika Politik di Era Virtualitas, (Bandung dan Yogyakarta: Jalasutra).
Sudibyo, Agus., (2001), Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS).
Sudibyo, Agus., 2001, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LKiS, Yogyakarta

Artikel:
Adiputra, Wisnu Martha., (2008), Polling Sebagai Ekspresi Opini Publik: Pilar Kelima Demokrasi, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 12 Nomor 2.
Nyarwi, dalam “Paradox Media Sebagai Pilar Keempat Demokrasi”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 2 November 2008
Gustina Zubair, dalam “komunikator di panggung Politik Indonesia”, Farid hamid dan Heri Budianto (Ed), 2011, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan masa depan, Kencana-Prenada media Group, Bandung
Umaimah Wahid, dalam “rasionalitas Manusia dan media massa: Analisis manusia komunikatif Jurgen Habermas terhadap Proses Pilkada Pasca Reformasi, Farid hamid dan Heri Budianto (Ed), 2011, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan masa depan, Kencana-Prenada media Group, Bandung

Komunikasi Politik -- Pengantar Pemahaman

Komunikasi Politik: Pengantar Pemahaman Komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari sistem budaya politik dan budaya ber k om...