Sabtu, 25 April 2020

Buku New Media: Dinamika Komunikasi Politik di Era Virtualitas


DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK ERA VIRTUALITAS

A.  Pendahuluan
Virtualitas sering diidentikkan dengan dunia maya, namun virtualitas tidak hanya dipahami sebagai sifat kemayaan (internet) akan tetapi melingkupi konsep maya dalam pengertian yang lebih luas yang mencakup didalamnya ruang ruang televisi, film, video dan media komunikasi publik lainnya. Perluasan konsep virtualitas ini tidak lain disebabkan bahwa semua media di atas kini sudah terkoneksi dengan jaringan komputer sehingga menjadi bagian dari sifat virtualitasnya. Dalam abad informasi kapitalistik dewasa ini, media opini publik sebagai salah satu apparatus hegemoni secara teknologis telah berkembang sedemikian rupa, sehingga di dalamnya terbuka lebar berbagai kemungkinan manipulasi dan simulasi (khususnya simulasi pencitraan dan visualisasi digital) yang memepengaruhi pembentukan opini publik.
Untuk mewujudkan pola komunikasi yang baik diperlukan iklim politik yang demokratis dan terbuka, sehingga semua unsur yang menjalankan fungsi dan peran sebagai komunikator maupun komunikan politik dapat menjalankan sebagaimana mestinya. Terlebih elit politik karena posisinya sebagai pengambil kebijakan, begitu pula dengan masyarakat dituntut harus dapat menciptakan prakarsa dan mengembangkan kreativitasnya. Selain itu, media massa senantiasa diharapkan menjadi komponen penting dalam melakukan suatu control maupun surveillance secara kritis dalam menyikapi proses politik yang terjadi di Indonesia.
Dunia virtual sebagaimana dikatakan oleh Michel & Anthony Negri adalah dunia yang melampaui ukuran dalam pengertian bahwa tidak ada mekanisme yang dapat mengukur kekuatan, nilai atau batas yang hanya mungkin dilakukan di dalam dunia yang mempunyai batas batas. Di dalam dunia virtual tidak ada lagi skala yang tetap dapat digunakan untuk mengukur nilai, kekuatan atau batas tersebut, disebabkan semuanya bergerak dan berpindah ke arah konstruksi nilai nilai yang melampaui ukuran. Problem pengukuran (kekuatan, nilai, batas) di dalam dunia virtualitas disebabkan dunia tersebut dibangun oleh sebuah tempat yang berciri ketak-bertempatan (non place). Tidak ada yang disebut tempat dalam pengertian yang sebenarnya didalam dunia virtual, yang mengenal batas batas teritorial. Yang ada adalah tempat virtual, yang segala aktivitas didalamnya melampaui kemmapuan ukuran yang bersifat eksternal. Dengan demikian salah satu pengertian virtualitas itu sendiri adalah seperangkat kekuasaaan untuk bertindak (mengada, mencintai, menstransformasikan, mencipta) yang berada di dalam ketidak berhinggan artinya di dalam ketidakberbatasan dan ketidakterbatasan (Yasraf Amir, 2005: 29-30)
Perkembangan teknologi komunikasi sebagai ciri virtualitas merupakan penerapan prinsip-prinsip keilmuan komunikasi untuk memproduksi suatu item material bagi efektivitas dan efisiensi proses komunikasi, selain itu teknologi komunikasi dipandang sebagai penerapan prinsip prinsip keilmuan komunikasi melalui penciptaan material (alat alat teknis) agar meningkatkan kualitas dan kuantitas peranan unsur unsur komunikasi, seperti sumber, pesan, media, sasaran dan dampak sesuai dengan konteks komunikasi. Teknologi komunikasi dan informasi membuat semua orang dapat berpartisipasi dengan semua jenis jaringan teknologi elektronik. Akibatnya, memungkinkan orang untuk membuat suatu pilihan informasi yang akan ditawarkan, termasuk memindahkan kekuasaan komunikasi yang tadinya dikelola oleh satu sumber organisasi ke individu atau sekelompok orang. Ini sekaligus menggambarkan betapa berubahnya peta hubungan dan kecepatan, serta kebebasan perpindahan informasi dari sumber kepada sasaran. Disebut kebebasan, karena pengirim dan penerima tak dapat dikontrol dengan mudah, pemilih dengan bebas mengirimkan informasi kepada siapa saja, dan penerima berhak memilih dan menerima informasi sesuai dengan kemauan seseorang tersebut.
Teknologi informasi dan organisasi virtual seringkali hanya dipandang sebagai alat, karena kehadirannya sekedar objek atau agen yang memudahkan aktivitas tertentu. Contohnya para ilmuan sosial selalu menolak pandangan bahwa komputer hanya sebagai alat. Perhatikan, ketika seorang manajer memerintahkan stafnya mengetik surat. Di sana terjadi interkasi, relasi dan komunikasi organisasi. Kehadiran TI telah berdampak pada lahirnya organisasi virtual. Dimana organisasi virtual telah “memaksa” kita untuk mengubah definisi organisasi dan komunikasi. Virtualitas sering diidentikkan dengan dunia maya, namun virtualitas tidak hanya dipahami sebagai sifat kemayaan (internet) akan tetapi melingkupi konsep maya dalam pengertian yang lebih luas yang mencakup didalamnya ruang ruang televisi, film, video dan media komunikasi publik lainnya.
Perluasan konsep virtualitas ini tidak lain disebabkan bahwa semua media di atas kini sudah terkoneksi dengan jaringan komputer sehingga menjadi bagian dari sifat virtualitasnya. Dalam abad informasi kapitalistik dewasa ini, media opini publik sebagai salah satu apparatus hegemoni secara teknologis telah berkembang sedemikian rupa, sehingga di dalamnya terbuka lebar berbagai kemungkinan manipulasi dan simulasi (khususnya simulasi pencitraan dan visualisasi digital) yang memepengaruhi pembentukan opini publik. Opini publik kini dapat dihadirkan dalam wujud opini public virtual. Dalam abad virtual dan digital dewasa ini konsep ruang publik telah mengalami transformasi dan migrasi yang luar biasa, yang didalamnya fungsi ruang publik dalam pengertian ruang fisik kini sebagian besar telah digantikan oleh ruang publik virtual, dalam hal ini terjadi semacam digitalisasi ruang publik yang didalamnya diskusi, debat-debat public, penyebaran ideologi tidak lagi dilakukan diruang fisik terbuka, melainkan didalam ruang ruang virtual. Mekanisme dan logika ruang virtual ini memungkinkan gerakan-gerakan politik, sosial, ideologis, yang mampu menciptakan hegemoni baru yang diproduksi di dalam ruang public virtual.
Kondisi ini tentu berimplikasi pada model dinamika komunikasi politik, dinamika ini tentu harus mengikuti perkembangan teknologi dan komunikasi, bahkan lebih detail bahwa komunikasi politik harus menerima ruang-ruang hampa baru dalam bentuk ruang publik yang virtual. Namun sifat artifisialnya, politik virtual telah membentangkan sebuah persoalan ontologis tentang ada dan keberadaan di dalam ruang publik yang diciptakan nya. Apakah bentuk keberadaan di dalam ruang publik virtual tersebut? Apakah ia sama dengan ada di dalam ruang publik fisik? Apakah ruang publik dapat menawarkan pengalaman atau membangun kesadaran didalam dunia kehidupan, seperti dunia kehidupan politik harian (everday life) bila di dalamnya ada politik, maka dunia politik semacam apa yang ditawarkan (Yasraf Amir, 2005: 30). Secara lebih sederhana, kajian ini juga mengulas mengenai dinamika politik macam apa sebagai dampat virtualitas ini.

B.  Pembahasan
Komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari sistem budaya politik dan budaya berkomunikasi masyarakat, budaya tersebut tentu menentukan kecenderungan-kecenderungan dalam komunikasi politik. Menurut Rush dan Althof (1997: 255), komunikasi politik merupakan transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik, dan proses sosialisasi. Dari proses politik seperti itu, terlihat kemudian posisi penting komunikasi politik terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan. Pada dasarnya komunikasi politik merupakan salah satu bentuk dari banyak bentuk komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang relatif sederhana seperti halnya komunikasi antar persona (interpersonal communication) maupun dalam bentuk yang lebih kompleks seperti hal nya komunikasi yang dilakukan oleh suatu lembaga (institutional communication) maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari dimensi dimensi komunikasi pada umumnya.
Secara teoritis ada dua aspek penting dalam komunikasi politik, (1) konsep komunikasi politik ini mengacu pada pemikiran Laswell dimana fokus analisis dan model komunikasi di dasarkan pada “who says what in which channel to whom with what effect”. Unsur sumber (who) mengundang pertanyaan mengenai pengendalian pesan, unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi, saluran komunikasi (in which channel) menarik untuk mengkaji analisis media, unsur penerima (to whom) banyak digunakan untuk studi khalayak, unsur pengaruh (with what effect) berhubungan erat dengan kajian efek pesan pada khalayak; (2) konsep politik komunikasi disini mengacu pada pemikiran Chaffe dimana fokus analisis dan model komunikasi didasarkan pada “who gets to say what to whom”. Komunikasi politik dan politik komunikasi juga terus berlangsung di dalam pengaruh dua mainstream yang berbeda, secara umum keduanya berlangsung dalam pengaruh tarikan arus kuat dua mainstream utama, market model dan public sphere model. Perkembangan industri media di dalam merespon perkembangan struktur kapitalisme dan juga menjadi aktor penting proses demokrasi tidak mudah lepas dari dua hal tersebut, kendatipun secara mendasar kedua model tersebut memiliki basis logika dan referensi etik ideologi yang berbeda (Nyarwi, 2008:162). Pandangan Entman dan Bennet (2001: 472) bahwa terdapat dua cara memahami komunikasi politik, yaitu: (i) memfokuskan perhatian pada respons individu terhadap pesan-pesan persuasif menyangkut pilihan tertentu; dan (ii) menitikberatkan diskusi pada karateristik proses komunikasi tempat pesan dan informasi politik dikonstruksikan dan disistribusikan dalam sebuah sistem politik. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan idealnya dielaborasi dalam satu wadah “komunikasi politik”.
Fagen mendefenisikan komunikasi politik sebagai: “Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual and potential, that is has for a functioning of political system. Nimmo mendefenisikan: “Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual and potential) which regulate human conduct under the condition of conflict. Sedangkan Meadow mengemukakan bahwa komunikasi politik merupakan: “Political communication refers to any exchange of symbols or massages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Dan Nimmo, 2004: vi). Dalam pandangan Nimmo (1993: 29) komunikator politik ini memainkan peran peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Para pemimpin organisasi ataupun para juru bicara partai politik adalah pihak yang menciptakan opini public, karena mereka berhasil membuat sejumlah gagasan yang mula mula ditolak kemudian dipertimbangkan dan akhirnya diterima publik.
Selain itu, A.Muis (2000: xvi) menyebutkan bahwa komunikasi politik adalah sebuah proses komunikasi yang syarat dengan penggunaan kecerdasan, kepintaran, kecerdikan dan bahkan kelicikan (sagacity, expendiency, craftiness, judiciousness, schemingness). Pengertian lebih luas dari komunikasi politik adalah segala macam komunikasi yang digunakan oleh lembaga-lembaga legislatif, hukum, politik, masyarakat, ekonomi, kelompok-kelompok pelaku ekonomi besar (pressure groups) dan lembaga komunikasi masa yang bertujuan mengkontrol, mengusai, dan mangatur masyarakat dan negara. Terdapat pengertian lain, bahwa komunikasi politik merupakan komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama lembaga-lembaga politik.
Pandangan lain berasal dari Brian McNair (2003:4) yang mendefenisikan komunikasi politik sebagai proses komunikasi antara aktor politik dan masyarakat melalui media. Komunikasi politik terdiri atas tiga elemen, yaitu: (1) organisasi politik (partai politik, organisasi public, pemerintah, kelompok penekan, dan lainnya), (2) masyarakat (audience), dan (3) media. Komunikasi politik menurut McNair ini memiliki ragam karakter, yaitu: (1) semua bentuk komunikasi dilakukan oleh para politisi dan aktor politik lain demi meraih tujuan khusus; (2) komunikasi di tujukan untuk aktor ini oleh non politisi seperti pemilih dan kolumnis surat kabar; (3) komunikasi aktor ini beserta aktifitasnya dalapat dilihat dalam laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik dalam media.
Komunikasi politik ini selalu mengikuti dinamika yang berkembang, bahkan mengikuti pola ke arah mana sistem sosial dan teknologi berjalan. Misalnya perkembangan teknologi informasi muthakir ini khususnya teknologi informasi elektronik digital telah menciptakan ruang politik baru yang bersifat artifisial dan maya, yang disebut ruang politik virtual. Ruang politik virtual telah mengalihkan berbagai aktivitas politik di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk subtansi artifisialnya. Sebuah migrasi politik besar besaran tampaknya tengah berlangsung kedalam dunia politik yaitu, migrasi kehidupan politik dari ruang nyata ke dalam ruang ruang virtual (Yasraf Amir, 2005: 29). Konsep virtualitas dalam konteks politik tidak hanya di pahami sebagai sifat kemayaan yang tercipta akibat mekanisme jaringan komputer (cyberspace) akan tetapi melingkupi konsep maya dalam pengertian yang lebih luas, yang tercipta di dalam ruang ruang yang lebih luas, yang mencakup di dalamnya ruang ruang televisi, film, video, dan media komunikasi publik lainnya. Perluasan konsep virtualitas ini tidak lain disebabkan bahwa semua media di atas kini sudah terkoneksi dengan jaringan komputer, sehingga menjadi bagian dari sifat virtualitasnya (Yasraf Amir, 2005: 29)
Migrasi politik ini telah menimbulkan perubahan besar pula pada bagaimana politik itu di pandang dan didefinisikan. Berbagai aktivitas dan tindakan politik ( persuasi, interaksi, komunikasi,) yang sebelumnya dilakukan di dunia nyata (natural) kini dilakukan didunia baru. Yaitu dunia artifisial virtual, yang menggiring kepada semacam virtualitas politik. Virtualitas politik menciptakan kehidupan politik yang dibanguan sebagian besar mungkin nanti seluruhnya oleh model relasi yang dimediasi oleh teknologi, khususnya teknologi informasi, sehingga wacana politik berkembang sebagai wacana artifisial (Yasraf Amir, 2005: 29). Hal lebih konkrit disampaikan oleh Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarief (2012: 8) bahwa internet dan media baru telah memberikan dorongan baru bagi penemuan kembali aktivisme sipil yang diikuti dengan pembentukan kembali proses-proses politik dalam berbagai konteks dan keadaan. Di Indonesia, sebagai salah satu negara pengguna media sosial terbesar di dunia, tantangan yang ada bukanlah mengenai bagaimana teknologi digunakan atau diadopsi, melainkan cara yang digunakan untuk mengakses media tersebut dan penggunaanya untuk mempengaruhi dinamika politik.
Secara lebih sederhana, migrasi politik dari era konvensional ke era e-demokrasi menunjukan adanya beberapa implikasi; pertama, perubahan terhadap aktivitas politik yang mengarahkan pada penggunaaan ruang virtual; kedua, perubahan pola komunikasi politik dan media yang digunakan, komunikasi politik konvensional biasanya secara langsung bertatap muka, sekarang melalui dunia maya, para politisi dapat menyapa jutaan masyarakat hanya dalam hitungan detik dan menit, ketiga, perubahan sikap politik (elit politik-masyarakat), cepatnya tersebar informasi melalui dunia maya sehingga berefek pada perilaku masyarakat, keempat, perubahan kebutuhan politik terhadap kendaraan  media sosial yang awalnya merupakan kebutuhan primer seiring dengan waktu akan menjadi perubahan sekunder, hampir sebagian besar elit politik dan masyarakat memiliki akun media sosial untuk aktivitas politiknya (facebook, twitter, dan lainnya), bahkan sebagian kecil telah memiliki website tersendiri sebagai ajang komunikasi dengan masyarakat lainnya, kelima, perubahan aktivitas komunikasi yang awalnya membutuhkan waktu untuk mendapatkan feedback sekarang lebih efisien, media yang digunakan sangat mempermudah dalam menyampaikan pesan.
Kondisi ini untuk menciptakan sistem demokrasi yang lebih luas, kondisi ini ditandai adanya migrasi politik dari era demokrasi ke era e-demokrasi. Itulah sebabnya, Alfian (1991) mengilustrasikan komunikasi politik sebagai aliran darah yang menjadi energi untuk menghidupkan sendi sendi demokrasi. Tanpa aktivitas komunikasi politik yang memadai, sulit untuk membangun demokrasi. Sebab komunikasi politik dan demokrasi merupakan dua senyawa yang saling melengkapi. Dan karena kaitan antara dua senyawa itu pula, komunikasi politik dapat dilihat pada dua fenomena yang saling mempengaruhi, yaitu sebagai alat proses demokratisasi disatu pihak, dan dipihak lain, ia juga dapat menjadi cermin demokrasi dari system politik yang di anut sesuatu negara (Muhtadi, 2008:2). Karena itu lanjut Nimmo, sikapnya terhadap khalayak serta martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya baik sebagai individual maupun kolektif, setiap komunikator politik merupakan pihak potensial yang ikut menentukan arah sosialisasi, bentuk bentuk partsipasi, serta pola pola rekrutmen massa politik untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut McNair bahwa peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa (termasuk media baru/ internet: penulis) sebagai bahan liputan, hal ini terjadi karena dua faktor, yaitu: (1) dewasa ini politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation) yakni media massa, sehingga hampir mustahil kehidupan politik dipisahkan dari media massa; (2) peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu rutin belaka (seumpamanya rapat partai), apalagi peristiwa politik yang luar biasa (seperti penggantian presiden). Politik di era mediasi ketika dikaitkan dengan fungsi media dan media massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitters) pesan-pesan politik dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (senders) pesan-pesan politik yang disusun (constructed) oleh para wartawan kepada audiens. Jadi bagi para aktor politk, media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada khalayak, sementara untuk para wartawan, media massa adalah wadah untuk memproduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa politik itu memiliki nilai berita (Hamad, 2004:1).
Secara terminologi demokrasi, komunikasi politik seringkali diartikan sebagai mekanisme komunikasi antara aktor politik (komunikator) untuk memperoleh dukungan politik (komunikan) melalui cara tatap muka (face to face communication). Karena itu komunikasi politik mencerminkan adanya interaksi yang terus menerus antar elit politik dan masyarakat dengan maksud agar aspirasi masyarakat dapat diartikulasikan, sehingga para aktor politik itu sendiri dapat memperoleh legitimasi sendiri dari masyarakat dengan cara memperjuangkan aspirasinya. Sehingga  mekanisme komunikasi politik seperti tergambar pada pengertian diatas mensyaratkan adanya iklim demokratis, sebab tanpa demokrasi tidak mungkin ada kebebasan untuk melakukan kegiatan komunikasi secara timbal balik khususnya antara masyarakat dengan para pemegang kekuasaan (Muhtadi, 2008:10).
Untuk memainkan serta menghidupkan fungsi sosial politiknya dalam masyarakat dan negara, komunikasi politik dalam hal ini dimaksudkan sebagai kekuatan penggerak hidup dan dinamisnya suatu sistem. Dalam ungkapan Alfian (1991:1) komunikasi politik diibaratkan sebagai “sirkulasi darah dalam tubuh”, bukan darahnya tapi, apa yang terkandung didalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup. Komunikasi sebagai layaknya darah mengalirkan pesan pesan politik berupa, tuntutan , protes, dan berupa dukungan (aspirasi dan kepentingan) kejantung (pusat) pemrosesan system politik, sebagai jembatan yang menghubungkan antara berbagai kepentingan yang muncul, komunikasi politik menjadi sarana penting dalam membentuk opini publik sekaligus mendinamisasi kehidupan social untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Muhtadi, 2008: 12-13). Kebebasan berbicara akan membentuk ruang komunikasi politik yang kondusif, sebaliknya komunikasi politik yang berlangsung ideal juga akan menciptakan iklim demokrasi yang lebih sehat.

Migrasi Pesan Komunikasi
Perkembangan internet adalah fenomena dalam dunia komunikasi yang banyak membawa perubahan tidak saja dalam perangkat penyebaran pesan tetapi juga perubahan di masyarakat. Berkaitan dengan perubahan perangkat peredaran pesan, munculah fasilitas seperti blog, e-mail, chatting, e- paper dan masih banyak lagi. Apa yang terjadi pada media komunikasi penyebaran pesan di atas tentu membawa konsekuensi perubahan pada masyarakat. Konsekuensi itu kemudian secara fisik, jumlah anggota, kuantitas lalu lintas pesan, jenis jenis pesan berbeda dengan kenyataan masyarakat saat ini. Sebut saja ada bentuk masyarakat lain selain masyarakat riil yang di kenal secara konseptual atau kenyataan. Masyarakat itulah yang dinamakan masyarakat virtual.
Disebut komunitas ruang hampa karena anggotanya berhadapan dengan ilusi. Anggota tidak berhadapan dengan anggota secara fisik sebagaimana masyarakat nyata. Sama halnya ketika politik di dunia maya yang terjadi adalah ketika penyebaran informasi politik yang dilakukan oleh sekelompok golongan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas politik melalui kampanye yang di sampaikan di media sosial dimana khalayak dapat mengambil keputusan politik. Perihal ini merupakan salah satu contoh bahwa ruang imanjinasi yang bisa berhubungan satu sama lain dengan berbagai model yang dikembangkan dalam masyarakat maya mampu memberikan perubahan paradigama masyarakat selain itu juga sebagai kontrol sosial di masyarakat (Bungin, 2007).
Di era politik yang penuh dengan hegemoni maka manusia dijajah oleh kekuatan dan kekuasaan besar teknologi komunikasi yang dapat memberikan dukungan positif maupun negatif bagi perubahan kualitas komunikasi manusia, mulai dari komunikasi antarpersonal, kelompok, organisasi, publik, hingga komunikasi massa. Jika ditelisik lebih dalam rancangan teknologi komunikasi yang tampak rasional itu ternyata tidak saja mengubah interface of communication dalam komunikasi antarpersonal, tetapi lebih dari itu mengubah sosial interface. Disebut sosial interface karena teknologi berjasa untuk menerjemahkan pesan dan isi dari ruang interface yang bersifat personal ke ruang yang lebih luas, dalam studi negara disebut ruang publik.
Kehadiran ruang publik ini menjadikan segala aktivitas mengenai dunia teknologi terutama komunikasi politik di era maya ini sebagai alat sekaligus objek atau agen yang memudahkan aktivitas tertentu. Contohnya amati di setiap pemilihan para calon pimpinan misalkan pemilihan calon bupati, para organisasi tersebut berbondong bondong melakukan komunikasi politik sejenis iklan politik yang sarat akan ajakan, pengaruh yang akibatnya masayrakat sadar ataupun tidak sadar akan masuk dalam ritme iklan tersebut. Seperti dalam teori yang dikemukakan oleh Walter Lipmann bahwa media tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh khalayak namun media mengetahui apa yang diinginkan oleh khalayak. Begitupun kehadiran dunia sosial media saat ini yang mampu memberikan ragam cuplikan yang mampu membius masyarakat yang menikmati tayangan sosial media tersebut.
Revolusi proses penyebaran pesan yang dilakukan oleh media sosial adalah proses pesan yang awalnya berjalan satu arah (one step flow) sebagaimana dilakukan oleh mainstream media menjadi banyak tahap (multi step flow). Karena nya mainstream media mengikuti kecenderungan dari apa yang berkembang dalam media sosial. Dengan kata lain mainstream media menggunakan media sosialjuga sebagai alat untuk penyebaran pesan pesannya. Disamping itu masyarakat menggunakan media sosial karena sifat informasinya yang interaktif antar user. Selain itu jumlah lalu lintas pesan yang beredar akibat media sosial sangat meningkat tajam menembus ruang dan waktu. Masyarakat kita mengalami spill over of communication (peluberan informasi) peluberan informasi ini pada akhirnya menyebabkan keterkejutan budaya (sock culture) di masyarakat. Komunikasi melalui media sosial seperti chatting atau layanan iklan yang sarat akan politik contoh iklan tayangan pemilihan Bupati 2015 hal ini mengarah pada komunikasi interpersonal yang selama ini komunikasi bermedia sering di sebut komunikasi massa. Namun dengan perantaraan teknologi baru yang di dalamnya ada media sosial maka teori komunikasi massa mengalami perkembangan baru (Nurudin, 2013).  

Dinamika Komunikasi Politik Era Virtualitas
Komunikasi politik di era virtualitas menekan bentuknya yang baru berupa komunikasi politik virtual yaitu komunikasi tak bertempat dan tak meruang. Relasi politik virtual telah mentransformasikan bentuk komunikasi politik yang kini sangat ditentukan oleh beroperasinya citra-citra virtual di dalamnya yang menciptakan situasi komunikasi politik yang khusus. Di dalam politik ada suatu situasi komunikasi politik yang disbut jurgen habermas sebagai situasi komunikasi ideal. Yang dibangun oleh sarana, institusi aktor, dan relasi relasi ideal di anatara semua elemen ini. Sarana komunikasi ideal dapat menciptakan ruang komunikasi politik yang terbuka, dalam pengertian terbuka luas terhadap berbagai partisipasi publik secara adil. Artinya tidak dibenarkan adanya tekanan pemaksaaan dan dominasi kelompok politik tertentu atas kelompok kelompok lainnya. Untuk itu diperlukan aktor kator politik ideal yaitu selalu berbicara dengan betul (right) berdasarkan etika wacana yang ada yang sellau mengemukakan pernyataan yang benar, tidak dusta, bohong, atau palsu. Dan yang sellau berbicara jujur tidak menipu atau berpura pura  (Yasraf Amir, 2005: 31).
Ruang politik virtual secara sepintas tampak dapat menjadi ruang ideal disebabkan sifat keterbukaannya yang sekan akan tanpa sekat. Dan pembatasan dengan sedikit sekali pemaksaan tekanan dan represi. Yang setiap orang dapat berpartisipasi di dalam medan perbincangan demokratis. Karakter ruang virtual adalah sifat egalitariannya yang didalamnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengekspresikan opini pilihan dan spirasi politik tanpa ada yang membatasi. Akan tetapi keterbukaan ini sesungguhnya mengandung paradoks di dalamnya paradoks keterbukaaan. Keterbukaan ruang ruang virtual sekaligus adalah ketidakpastiannya. Disebabkan karakter ruang virtualnya sebagai ruang image yang dapat direkayasa secara artifisialnya, maka ia adalah ruang yang palig terbuka terhadap berbagai bentuk penipuan pemalsuan dan simulasi realitas. Yang didalmnya batas-batas benar /salah, asli/palsu, jujur/bohong, menjadi kabur sehingga menimbulkan ketidakpastian informasi yang dihasilkannya. Bagaimana mungkin kejujuran kebenaran dan kredibilitas dapat di bangun di dalam ruang politik virtual yang mekanisme ruangnya sendiri memberikan fasilitas kemudahan untuk kebohongan kepalsuan dan distorsi (Yasraf Amir, 2005: 31)
Media massa virtual ini menjadi instrumen yang strategis tetapi juga rentan terhadap politisasi, sehingga perlu dibangun keseimbangan komunikasi yang berpihak pada publik. Dengan berkembangnya media baru (media sosial) menunjukan ada perkembangan demokrasi, dalam arti bahwa media massa virtual adalah alat komunikasi politik yang menunjang adanya penguatan demokratisasi di Indonesia. Pilar keempat demokrasi tersebut dalam tataran komunikasi politik ada hal yang perlu di pertimbangkan dan dikaitkan diantaranya, pertama: komunikator dalam komunikasi politik, yaitu pihak yang memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak politik, seperti dalam perustiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam komunikasi politik dapat dibedakan dalam wujud individu, lembaga maupun kumpulan orang.  Kedua, khalayak komunikasi politik, yaitu penerima yang sebetulnya hanya bersifat sementara, seperti dalam konsep umum berkomunikasi, ketika penerima itu memberikan feedback dalam suatu proses komunikasi politik atau pada saat meneruskan pesan-pesan itu kepada khalayak lain dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, maka pada saat itu peran penerima telah berubah menjadi sumber atau komunikator. Ketiga, saluran-saluran komunikasi politik, yakni setiap pihak atau unsur yang memungkinkan sampainya pesan-pesan politik, dalam hal-hal tertentu memang terdapat fungsi ganda yang diperankan unsur-unsur tertentu dalam komunikasi (Muhtadi, 2008: 33-34).
Virtualitas politik mengaburkan batas batas antara dunia nyata dan dunia fantasi. Komunitas politik virtual yang tercipta di dalam ruang ruang virtual dicirikan oleh kondisi ketidakbertempatan dan ketakmewaktuan. Politik yang di bangun di dalam ruang semacami ini adalah politik tak bertempat (detterritorial politics) yang didalamnya teritorial fisik tidak lagi menentukan kekuasaan politik. Kekuatan massa politik kini tidak lagi dibentuk didalam teritorial (wilayah fisik) melainkan di dalam ruang rudang maya yang tak meruang dan tak mewaktu itu. Politik virtual di bangun di dalam ruang imajiner, yang di dalamnya ktivitas dan relasi politik berlangsung secara artifisial yaitu cara yang mengandalkan pada peran teknologi khususnya teknologi komputer dan informasi. Di dalamnya berbagai kegiatan politik: debat diskusi, opini publik, kampanye, pemilihan umum, protes, kritik, demonstrasi, di lakukan di dalam ruang ruang virtual (Yasraf Amir, 2005: 29).
Dunia virtual dalam konteks komunikasi politik adalah melebarnya ruang diskusi publik dengan menyebarnya berbagai opini publik, elit politik dan masyarakat dapat mendiskusikan problem kebangsaan sampai masalah yang sangat kecil, dalam bahasa Alfred Schutz & Thomas Luckman di dalam structure of the life world bahwa dunia kehidupan melibatkan baik kesadaran maupun ketaksadaran. Kesadaran manusia selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, yaitu kesadaran kognitif yang menangkap objek objek disekitar termasuk manusia lain. Dalam konteks dunia kehidupan politik, kesadaran yang dibangun didalamnya adalah kesadaran berhadapan dengan objek dan aktor aktor politik lainnya di dalam ruang publik politik, yang didalamnya dihasilkan aksi, persepsi dan opini opini politik. Keadaran yang beroperasi di dalam ruang politik virtual berbeda dengan kesadaran didudnia harian (everday life world) yang merupakan dunia yang dibangun berdasarkan kesadaran atas objek objek nyata. Di dalam ruang politik virtual, sebaliknya objek objek yang ditangkap pengalaman hanya dalam wujud halusinasi. Pengalaman yang dialami di dalam ruang politik virtual adalah pengalaman berhadapan dengan halusinasi objek objek yaitu objek objek maya yang terbentuk lewat bit- bit komputer, yang didalamnya arus kesadaran yang menangkap objek objek nyata termasuk manusia lain sebagai aktor politik. Di alihkan kedalam kesadaran yang mennagkap dunia halusinasi (Yasraf Amir, 2005: 31).
Pada era komunikasi politik kontemporer, ditambah dengan kehadiran internet jelas telah mengevolusi cara berinteraksi dan berpolitik. Selama beberapa tahun terakhir, media sosial sudah menjadi sumber penting untuk berita dan informasi politik, (Weeks & Holbert, 2013: 3) ditambah dengan mudahnya akses internet sampai ke ruang-ruang kerja individu dapat dimanfaatkan untukpembentukan opini publik. Isu tentang emansipasi, keterbukaan, kebebasan dapat dengan mudah ditransfer melalui internet (Firmanzah, 2008: 23). Apabila politisi mengerti pemilih, mereka bisa membuat komunikasi yang lebih efektif dengan mengetahui siapa pemilihnya, apa yang mereka inginkan dan bagaimana menyentuh mereka dengan mengembang komunikasi yang lebih tertarget dan diinginkan pemilih. (Marshment, 2009: 170). Dijelaskan dalam (Lievrouw, 2013: 6) new media adalah sebagai informasi dan teknologi komunikasi serta konteks sosialnya. Sebagai produk dari ide masyarakat, keputusan dan tindakan dimana mereka menggabungkan teknologi lama dan baru, kegunaan dan tujuannya. Seperti juga yang dikatakan sebelumnya, dalam era demokrasi ini, internet sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi, berpeluang merevolusi sistem, struktur dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal. (Firmanzah, 2008: 22) mana munculnya istilah “digital democracy” atau “virtual democracy” yang menggambarkan bagaimana kehidupan demokrasi berlangsung di dunia internet (Firmanzah, 2008: 23). Atau dengan kata lain, masyarakat tidak harus datang langsung ke tempat kampanye namun sudah bisa dilakukan interaktivitas melalui new media termasuk di dalamnya media sosial. Media sosial merupakan fenomena kekinian yang menggiring berbagai perubahan sosial itu pada tempat yang lain dimana pemahaman baru terhadap terciptanya pola-pola interaksi sosial terutama karena topangan kemajuan teknologi komputerisasi dan internet.
Realisasi opini publik kini dapat dihadirkan dalam wujud opini publik virtual. Dalam abad virtual dan digital dewasa ini konsep ruang publik telah mengalami transformasi dan migrasi yang luar biasa, yang didalamnya fungsi ruang publik dalam pengertian ruang fisik kini sebagian besar telah digantikan oleh ruang publik virtual, dalam hal ini terjadi semacam digitalisasi ruang publik yang didalamnya diskusi, debat-debat public, penyebaran ideologi tidak lagi dilakukan diruang fisik terbuka, melainkan didalam ruang ruang virtual. Mekanisme dan logika ruang virtual ini memungkinkan gerakan-gerakan politik, sosial, ideologis, yang mampu menciptakan hegemoni baru yang diproduksi di dalam ruang public virtual. Gerakan virtual diberbagai bidang melalui menunjukan “taring” masing-masing, misalnya gerakan politik Barack Obama, Presiden SBY, Jokowi dan lainnya. Contoh, Gerakan virtual yang cukup fantastis dilakukan oleh Calon Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dengan melakukan kampanyenya dan mengumpulkan dana secara online. Barack Obama memiliki situs jaringan sosial yang popular, bahkan tidak hanya di Amerika Serikat namun juga dibanyak negara di dunia. Situs jaringan sosial tersebut antara lain Facebook, My Space, Linkedin, You Tube, Friendster hingga Twitter. Gerakan virtual Barack Obama menuju kemenangan, sebab sebagian besar penduduk Amerika Serikat atau sebesar 71,9 persen atau 218,3 juta dari 303 juta penduduknya menggunakan internet. Pidato Barack Obama Video Yes We Can yang ditayangkan di You Tube dalam dua hari setelah dirilis diklik 698.934 kali, 45.000 lebih pengikut di jejaring sosial Twitter, bahkan sumbangan kampanye Rp.6,9 triliun dari 3 juta pengguna internet melalui Facebook. Gerakan virtual dalam bidang politik ini telah memindahkan politik kepresidenan masuk ke abad digital sehingga Obama dapat disebut sebagai presiden pertama Amerika Serikat di “Era of Internet Presidency”.
Artinya bahwa dalam publik virtual, secara efisien setiap pengguna sosial media termasuk juga politisi berperan sebagai distributor konten pesan (Weeks & Holbert, 2012, p. 2). E-marketing atau political marketing melalui new media, memegang potensi untuk memperluas juga pasar terutama anak-anak muda yang sering kali menolak bentuk komunikasi politik lama tapi menjadi pengguna utama internet dan elektronik digital. (Marshment, 2009: 170). Sehingga dapat dikatakan pada masa politik Indonesia kontemporer ini, penggunaan media sosial seperti Twitter merupakan satu bentuk komunikasi yang telah diadaptasi oleh para politisi dan sebagai negara berkembang, Indonesia berada pada masa post-modern dimana teknologi internet mengambil peranan dalam kampanye politik.

C.  Penutup
Dinamika komunikasi politik mengalami migrasi, dari model komunikasi politik konbvensional kearah komunikasi politik era virtual. Komunikasi politik di era virtualitas menekan bentuknya yang baru berupa komunikasi politik virtual yaitu komunikasi tak bertempat dan tak meruang. Relasi politik virtual telah mentransformasikan bentuk komunikasi politik yang kini sangat ditentukan oleh beroperasinya citra-citra virtual di dalamnya yang menciptakan situasi komunikasi politik yang khusus. Komunikasi politik era vritual ini justru memperluas ruang-ruang demokrasi menuju kearah e-demokrasi di Indonesia.

Daftar Pustaka
Buku:
Alo liliweri, (2001), Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Pustaka pelakar, Yogyakarta
Abrar, Ana Nadhya., (1994), Penulisan Berita, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atmajaya)
Adiputra, Wisnu Martha., (2009), Berkawan Dengan Media: Literasi Media untuk Praktisi Humas, (Yogyakarta: Kajian Media dan Budaya Populer)
Bungin, Burhan., 2006, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana. Jakarta.
Canggara, Hafied., (2009), Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. (Jakarta: Rajawali Pers).
Hamad, Ibnu., (2004), Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Analysis Discourses Terhadap Berita-Berita Politik, (Jakarta: Granit)
Muhtadi, Asep Saeful., (2008), Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru, (Bandung: Rosdakarya).
Muis, A., (2000), Titian Jalan Demokrasi: Peranan Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik, (Jakarta: Kompas)
Nimmo, Dan., (2006), Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya).
Nurudin, (2004), Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Rajawali Pers)
Piliang, Yasraf A. (2005), Transpolitika: Dinamika Politik di Era Virtualitas, (Bandung dan Yogyakarta: Jalasutra).
Sudibyo, Agus., (2001), Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS).
Sudibyo, Agus., 2001, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LKiS, Yogyakarta

Artikel:
Adiputra, Wisnu Martha., (2008), Polling Sebagai Ekspresi Opini Publik: Pilar Kelima Demokrasi, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 12 Nomor 2.
Nyarwi, dalam “Paradox Media Sebagai Pilar Keempat Demokrasi”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 2 November 2008
Gustina Zubair, dalam “komunikator di panggung Politik Indonesia”, Farid hamid dan Heri Budianto (Ed), 2011, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan masa depan, Kencana-Prenada media Group, Bandung
Umaimah Wahid, dalam “rasionalitas Manusia dan media massa: Analisis manusia komunikatif Jurgen Habermas terhadap Proses Pilkada Pasca Reformasi, Farid hamid dan Heri Budianto (Ed), 2011, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan masa depan, Kencana-Prenada media Group, Bandung







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komunikasi Politik -- Pengantar Pemahaman

Komunikasi Politik: Pengantar Pemahaman Komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari sistem budaya politik dan budaya ber k om...